Batas Bawah

Cerpen Purba Linuwih

Kinar duduk lesu di sisi tempat tidur. Pandangan mata sedih masih bergelut pada perut tipis yang rata. Tangan kanannya merapa pelan dengan gerakan memutar dan berpusat pada pusar. Sehingga daster hijau berbunga-bunga kecil merah dan putih itu terangkat menyentuh lutut.

Ia menghela nafas. Pedih. Bahwasanya, baru nanti sore bersama suami ia berencana pergi ke dokter untuk memeriksa kehamilan. Sudah beberapa hari ia harap-harap cemas dan terus berdoa agar keterlambatan haidnya karena positif hamil sehingga impian untuk memiliki anak segera menjadi kenyataan.

Tetapi sungguh kaget, ia mendapat mens hari ini. Ia mendesah, seraya berbaring lesu di tempat tidur. Membiarkan pikirannya mengacak perasaan. Sekelebat ada bayang-bayang menyelinap dalam benaknya. Bayang-bayang rasa takut ditinggal suami karena tak juga memiliki keturunan, bayang-bayang mertua yang selalu saja menanyakan kehamilannya dan ancaman untuk mencarikan perempuan lain bagi anak laki-lakinya supaya lekas ia mendapatkan seorang cucu.

“Mengapa kau belum haml juga Kin, usia pernikahanmu sudah memasuki tahun ke empat menjelang lima. Teman-temanmu yang dulu menikah hampir bersamaan denganmu sudah pada mengantarkan anaknya ke play group, atau paling tidak sudah menggendong bayi,” kata ibu mertuanya suatu hari.

“Entahlah ibu, padahal sejak awal pernikahan, kami tidak memutuskan untuk menunda kehamilan. Dan kami sudah memeriksakan kesehatan. Dokter menyatakan kami berdua baik-baik saja.”

“Kalau begitu carilah, apanya yang salah!!”

Ia sedih, bukan tanpa mengatakan pun ibu mertuanya pasti tahu bahwa semua itu tidak lepas dari kuasa Tuhan. ‘Jawaban apa lagi yang harus kuberikan? Bukan hanya ibu yang menginginkan bayi itu, tetapi juga aku dan Mas Awan.’ Kalimat itu hanya berani ia katakan dalam hati. Sebab bukan hanya sekali dua kali ibu mertua menanyakan tentang kehamilannya. Ibu kandungnya juga sering menanyakan, tetapi tidak membuat tersudut. Itulah alasan mengapa ia lebih banyak menolak jika suaminya mengajak mengunjungi orangtuanya.

Ia mengusap butir air yang menetes dari air mata yang memburamkan pandangan saat ia menatap foto pernikahannya. Sudah hampir memasuki tahun ke lima foto itu terpasang di dinding kamar. Tetapi kamar ini masih tetap seperti dulu ketika mereka menempati usai menikah. Mestinya sudah ada buah hati yang menceriakan kamar dan mencemari kasurnya yang selalu wangi itu dengan bau ompol. Tetapi nyatanya tidak.

Dulu, ketika memasuki tahun ke tiga pernikahan dan Kinar belum juga hamil, ia dan suaminya sepakat, supaya ia berhenti bekerja karena barangkali terlalu lelah sehingga sulit untuk bisa hamil. Dan sekarang sudah hampir satu setengah tahun ia tidak bekerja, setiap hari yang ia lakukan adalah mengantarkan suami sampai di pintu gerbang ketika berangkat ke kantor sambil berdoa memohon keselamatan dan kesehatan bagi suaminya. Kemudian memasak, membereskan pekerjaan ruma, membaca buku, menyiram tanaman di halaman depan, atau melakukan hobi yang lain. Tetapi ia belum hamil juga. Sehingga suara-suara miring yang dulu tak pernah terpikirkan atau mendapat perhatian, kini mulai merasuki benaknya. Masih jelas terngiang di telinganya kerika berdua dengan suaminya berkunjung ke rumah mertua. Seperti yang sudah ia duga, ibu akan mempersoalkan kehamilannya yang tertunda.

“Kinar, mungkin kamu tak kunjung hamil itu bisa jadi gara-gara keluargamu sembrono. Dulu waktu mengadakan resepsi pernikahan, mestinya tuwuhan1 – yang diletakkan di sisi kanan dan kiri pintu tanda orang mantu, itu pisang ranum atau sudah matang, bukan mentah.” Kata ibu mertua tanpa hiraukan perasaannya. Akalnya sungguh tak bisa mencari jawab tentang hubungan antara janji nikaah dengan tuwuhan yang dipajang. Tetapi ia hanya diam.

“Lagi pula, pas acara menginjak telur, di pinggan kuningan itu kok ya bisa lupa tidak diisi air dan kembang setaman untuk membasuh kaki suamimu. Apa tidak sembrono itu?”

“Sudahlah Bu, itu hanya kelalaian manusia biasa.” Suaminya membela tetapi itu tidak menentramkan hantinya.

“Lho, Le2, adat jawa itu sarat dengan makna dan wibawa. Bisa jadi telur yang mestinya pecah tetapi tidak pecah itu suatu pertanda kalau istrimu tidak bisa memberi keturunan. Gimana to kamu ini!” Sekali lagi, kalimat itu serupa belati yang menghunus hatinya sehingga bernanah. Ia tak sanggup lagi menahan air mata.

“Baik ibu, katakanlah pendapat ibu benar, tetapi apa mungkin kami harus mengulang upacara lagi? Khusus untuk menginjak telur dan memasang tuwuhan pisang matang di sisi pintu rumah? Tidak kan Bu?!” Awan memberi pembelaan.

Bagai buluh yang terkulai, Kinar benar-benar menangis dalam dekap suaminya.

Memang ia masih ingat, ketika melihat pinggan kuningan kosong tanpa air, hanya kembang setaman teronggok di dalamnya. Itu cukup mengganggu jalannya upacara.

Awalnya ia dan suaminya rak pernah memikirkan kejadian itu. Karena sebagai orang-orang modern, mereka menanggap itu hanya kelalaian belaka. Tetapi karena hal iru sering disinggung ibu mertua dan kenyataan ia tak kunjung hamil, tak urung ia mulai menghubung-hubungkan kekacauan kecil saat pesta pernikahan dengan keadaan sekarang.

“Mas, jangan-jangan benar kata ibu kala sampai sekarang aku belum hamil bisa jadi karena dulu pisangnya masih mentah. Dan mestinya telur itu tetap kau injak sampai pecah tidak peduli ada air atau tidak.” Katanya suatu malam usai mercinta,

“Itu kan hanya tata upacara, masa bisa berpengaruh pada kehamilan?”

“Mas, kata ibumu telur yang diinjak sampai pecah itu penanda bahwa pamor mempelai perempuan sudah pecah.”

“Lho, memang sudah pecah kan?”

“Iya, tapi mengapa aku belum hamil juga?”

“Ya mana kutahu. Kita sudah berusaha ke dokter, hasilnya bagus. Juga hampir setiap hati kita makan kecambah supaya subur.”

Sungguh ia merasai ketenangan bila dekat dengan laki-laki yang sangat ia cintai.

“Mas, aku khawatir kau akan meninggalkanku karena aku tak juga memberimu keturunan.”

“Aku mencintaimu Kin. Mencintaimu sejak remaja. Mencintai semua yang ada padamu. Sehat atau sakit.”

Lalu ketika seharusnya ia sudah mendapatkan mens, tamu langganan tiap bula itu belum juga datang, sehingga dengan perasaan merekah serupa fajar ia menceritakan itu pada suaminya ketika mereka makan malam.

“Aku tahu bahwa kesabaran kita akan membahkan hasil, sayang.” Kata suaminya dengan mata berbinar bahagia.

“Mas, aku baru terlambat dua minggu. Mestinya kita ke doker.”

“Baiklah. Besok sore kita ke dokter.”

Tetapi sekarang, Kinar tak lagi semangat. Impiannya lepas demikian mudah. Harapan yang baru saha merekah, kini perlahan meredup, meredup, dan akhirnya padam.

Ia membayangkan apa kata suaminya dan ibu mertua jika tahu bahwa keterlambatan mens-nya adalah keterlambatan biasa. Akankah ia mengungkit soal teur dan tuwuhan lagi? Atau ibu tidak main-main akan mencarikan perempan yang bisa memberikan cucu baginya?

Ia membiarkan air mata bening meneter di pipinya. Membiarkan tercurah sebab tak sanggup lagi menahan beban sedihnya.

Ketika sore perlahan menapak datang. Ia tahu sebentar lagi suaminya pulang. Seperti biasa ia menyambut dan membukakan pintu gerbang. Kaili ini ia melakukan dengan penuh debar.

“Apa kabar sayang?” Kinar tersenyum.

Semua berjalan seperti biasanya. Suaminya akan menghampiri cangkir teh hangat yang sudah disiapkan di meja. Ia duduk manis di kursi sambil menatap bahagia kala suaminya mencengkeram gagang cangkir dan mereguk isinya, lalu ia akan menerima pujian,

“Tehnya manis seperti yang menyiapkan.” Sore ini pun pujian itu ia terima.

Kinar mengekor ketika suaminya masuk kamar sambil menceritakan kelucuan dan keregangan di kantor.

“Aku mandi dulu. Kamu bergantilah baju.”

“Kita batal ke dokter sore ini Mas,”

“Kenapa?”

“Aku mens.”

“Oouuhhh!!!!!!”

Kinar hampir menangis ketika melihat suaminya berjalangontai dan menghempas badan ke kasur. Ia beringsut dan duduk di sisi tempat tidur. Sekian menit kamar itu hening. Sampai akhirnya Kinar berkata lirih.”

“Mas, aku menyerah.”

“Maksudmu?” Sontak suaminya bangun oleh pertanyaan itu.

“Aku menyerah. Silakan saja jika kau mau meninggalkan aku karena aku tak bisa memberikan keturunan buatmu. Sekali pun aku sangat tidak ingin kehilanganmu.” Ia menunduk menyembunyikan kepedihan luar biasa. Kedua tangannya saling meremas bertaut.

“Kinar. Aku mencintaimu. Kau pikir karena apa sehingga kebersamaan in masih utuk juka bukan karena cinta?” Suara suaminya terdengar parau penuh tekanan sambul membelai rambut dan mengusap punggungnya.

“Aku tahu, tetapi aku tak bisa membahagiakanmu.”

“Dari mana kau tahu aku bahagia atau tidak?”

“Jangan bohongi dirimu Mas!”

“Baiklah Kinar. Barangkali kamu sudah lelah dengan segala macam tekanan dari orang tuaku. Tetapi pahamilah itu, karena aku satu-satunya anak yang tinggal di kota ini, dn aku anak bungsunya. Semua kakakku tinggal di luar kota bahkan luar negeri. Dan ak sendiri, sebagai laki-laki normal, jelas menginginkan anak. Tetapi berapa egoisnya aku jika meninggalkanmu karena tak juga memberi keturunan.” Kinar mulai terisak.

“Kinar! Jika aku meninggalkanmu hanya karena engkau tak juga memberikan anak buatku, ketahuilah, itu berarti bukan hanya engkau dan pernikahan kita yang aku khianati.”

Kinar mendongak menatap suaminya.

“Ada yang lebih sakit dari engkau, Kinar,”

“Siapa dia?”

“Tuhan.”

1. Tuwuhan : Perlengkapan pernikahan adat jawa. Terdiri dari pisang utuh dengan kegebognya, tebu dan daun-daunan menjadi satu rangkaian yang dipasang di sisi kanan dan kiri pintu rumah.

2. Le : Panggilan sayang untuk anak laki-laki.

Purba Linuwih adalah anak lelaki biasa. Saat ini tinggal di Solo sedang belajar giat membuat cerpen dan puisi. Cerpen-cerpen atau pun puisinya belum pernah dimuat di media mana pun. Baik lokal maupun nasional. Belum pernah memenangkan lomba.

1 Response to "Batas Bawah"

  1. Anonim says:

    readding

Posting Komentar

Free Website Hosting