Dimensi Perubahan Sosial

Dimensi Perubahan Sosial Masyarakat Jawa

Berdasarkan hasil pengkajian terhadap unsur-unsur yang ada dalam roman Canting yang mencakup penokohan, plot, setting, dan tema, dapat dikatakan bahwa roman Canting tersebut dapat mencerminkan realitas sosial (lihat sebab 3.2.1 hal.65). salah satu dimensi realitas sosial yang dicerminkan oleh roman Canting itu ialah mengenai perubahan sosial masyarakat jawa.
Hal ini antara lain dapat dilihat dari segi tema ceritanya, yakni mengenai dinamika kehidupan keluarga priyayi jawa dalam menghadapi situasi perubahan jaman sesudah merdeka (lihat sub bab.3.1.4 hal.60-62). Arswindo Atmo Wiloto dalam menyoroti persoalan perubahan sosial masyarakat Jawa menggunakan figur keluarga pria dalam menyoroti keluarga priyayi yang di dalam roman Canting diperagakan oleh keluarga Raden Ngabehi Sestrokusuma. Keluarga Raden Ngabehi Sestrokusuma ini menggunakan salah satu keluarga dari kalangan priyayi yang berhasil dalam menghadapi situasi perubahan zaman atau perubahan sosial itu. Tokoh-tokoh yang menonjol dari keluarga priyayi ini ialah Pak Bei Sestrokusuma, Bu Bei dan Ni sebagai anak bungsu.

Bagi kalangan bangsawan atau priyayi situasi perubahan zaman sesudah kemerdekaan yang menuntut segenap anggota masyarakat untuk beradaptasi ke dalam situasi baru, seringkali menimbulkan masalah psikologis dan sosial. Masih banyak di antara kaum priyayi yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan kondisi zaman yang baru. Sebagian kaum priyayi terkadang masih memperlihatkan gaya kehidupan seperti zaman lampau di mana kaum bangsawan mendapat posisi sosial dan kehormatan di dalam hirarki struktur masyarakat. Hal ini jelas berbeda keadaannya sesudah kemerdekaan. Peran sosial kaum bangsawan atau (priyayi) sudah berubah. Sikap masyarakatpun sudah berubah, yakni lebih Egalitarian, tidak memandang asal-usul keturunan dalam memberi temapt dan peran bagi anggota masyarakatnya. Ada sebagian kaum priyayi yang tetap mempertahankan gaya hidupnya seperti seperti gaya hidup zaman sebelum kemerdekaan sehingga sikap hidupnya tidak realistik. Mereka ini terlalu mempertahankan gengsi walaupun harus menempuh dengan cara apapun, misalnya terpaksa menjual barang-barang warisan leluhurnya. Mereka mempunyai gaya hidup yang memandang rendah segala pekerjaan yang diperlakukan dengan tangan maupun pekerjaan sebagai pedagang (Koentjaraningrat, 1984:75). Mereka ini enggan bekerja keras apalagi kerja kasar karena merasa malu. Akibatnya kondisi ekonomi rumah tangga mereka menjadi merosot dan jatuh miskin. Akhirnya mereka ini tidak bisa survive dalam menghadapi perubahan zaman atau perubahan sosial. Mereka tidak menyadari bahwa zaman sudah berubah dan perubahan zaman biasanya juga berlaku adanya perubahan sosial. Sebelum perang dunia ke-2 memang para priyayi atau golongan bangsawan mendapatkan kedudukan yang terhormat, misalnya bekerja sebagai pegawai keraton atau sebagai seniman keraton. Namun sesudah perang dunia ke-2, keraton-keraton di Pulau Jawa kehilangan kekuasan mereka atas daerah mereka masing-masing dan kehilangan kedudukannya sebagai pusat orientasi nilai-nilai budaya Jawa, sebagai pusat adat istiadat Jawa, dan sebagai pusat kesenian Jawa. Dengan demikian kaum bangsawan juga turut kehilangan kedudukan mereka yang tinggi di dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1984:235).

Sementara itu ada di antara kaum priyayi yang cukup adaptip dan tanggap akan adanya perubahan zaman atau perubahan sosial. Mereka ini memiliki kesadaran bahwa hidup di zaman kemerdekaan memang harus lain dengan hidup di zaman sebelum kemerdekaan. Mereka sadar bahwa status kebangsawanan yang mereka miliki hanya berlaku di kalangan kerabat keraton dan tidak untuk dibawa-bawa dalam lingkungan pergaulan masyarakat luas atau masyarakat umum. Kaum bangsawan yang memiliki kesadaran ini malah bisa menegakkan eksistensinya sebagai bangsawan atau priyayi dan sekaligus dapat mengkhayati hidup sebagai orang modern. Mereka ini biasanya lebih terbuka, mau bekerja keras, misalnya dengan berdagang atau yang lain demi mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Sebab, mereka menyadari bahwa hanya menggantungkan penghasilannya sebagai abdi dalem kraton Surakarta jelas tidak akan mampu mendukung ekonomi rumah tangga mereka.

Sebenarnya apabila kita berbicara mengenai perubahan sosial akan mencakup bidang yang sangat luas dan bersifat makro. Karena perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai norma-norma, nilai-nilai, pola-pola perilaku, organisasi, susunan dan stratifikasi kemasyarakatan, dan juga dapat mengenai lembaga kemasyarakatan (Selo Soemardjan, 1964:487; lihat juga Soerdjono Soekanto, 1987:281-282). Dengan demikian tidak hanya terbatas pada pola perilaku, sikap dan gaya hidup seperti yang telah dikemukakan di atas. Sesungguhnya, masih ada dimensi-dimensi perubahan sosial yang lain yang cukup menarik untuk diungkapkan dari roman Canting tersebut. Misalnya perubahan sosial yang terlihat pada masa Bu Bei masih hidup dan pada waktu sudah Bu Bei meninggal atau ketika tokoh Ni sudah dewasa. Dua tokoh ini dapat dipandang mewakili dua generasi. Generasi yang dilahirkan sebelum perang atau sebelum kemerdekaan dan generasi yang dilahirkan sesudah kemerdekaan. Pada generasi Bu Bei, peran suami dipandang sebagai atasan, sedangkan pada generasi Ni peran suami sebagai mitra yang sejajar. Pada generasi Bu Bei pendidikan masih langka, sedangkan pada generasi Ni sebagian wanita sudah mengenal pendidikan formal bahkan sudah ada yang mencapai gelar sarjana. Pada generasi Bu Bei kadar rasa kekeluargaan terasa amat dalam (ikatan emosionalnya masih tinggi), sedangkan pada generasi Ni sudah terasa individual dan fungsional. Pada generasi Bu Bei di dalam komunikasi tidak ada dialog terbuka, sedangkan pada generasi Ni sudah terbuka dan terus terang. Pada generasi Bu Bei dalam hal teknologi masih banyak menggunakan tenaga tangan manusia, sedangkan pada generasi Ni pabrik-pabrik sudah mulai beroperasi. Dalam masalah perkawinan, pada generasi Bu Bei tidak ada istilah menunda perkawinan, tetapi pada generasi Ni hal itu bersifat individual dan tergantung merasa sudah siap atau belum sehingga istilah menunda perkawinan menjadi lumrah.

Demikianlah dimensi perubahan sosial masyarakat Jawa yang dapat diungkap dari roman Canting. Di dalam menggambarkan perubahan sosial masyarakat Jawa ini, Arswendo Atmowiloto menggunakan figur dari golongan masyarakat kelas atas, yakni dari kalangan priyayi atau bangsawan. Jadi, ruang lingkup perubahan sosial yang digambarkan juga terbatas pada lingkungan priyayi. Namun, salah satu hal yang perlu dicatat di sini ialah bahwa Arswendo Atmowiloto mampu mengisolasi dimensi perubahan sosial itu pada tingkat mikro yakni perubahan sosial yang dialami dan dihadapi oleh suatu keluarga, dan di samping itu ia mampu pula mengungkapkan dimensi perubahan sosial yang terjadi di tingkat lokal (masyarakat Solo).

Salah satu dimensi persoalan social budaya yang lain yang terungkap di dalam roman Canting, ialah mengenai peranan wanita. Salah satu tokoh yang perlu disoroti dalam hal ini ialah Bu Bei dalam kapasitasnya sebagai istri Pak Bei dan sebagai pedagang batik di pasar Klewer. Dalam hal ini Bu Bei memiliki peran ganda dan dapat ia hayati secara baik tanpa harus mengorbankan salah satu peran yang ia jalankan.

Persoalan peranan wanita sudah sejak lama dibicarakan orang dalam berbagai diskusi dan seminar, baik yang berlangsung di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada umumnya dari hasil diskusi dan seminar tentang persoalan peranan wanita tersebut, melahirkan isu gugatan terhadap praktek subordinasi wanita yang dilakukan oleh pria, atau menggugat ideologi genderisme, yakni ideologi yang membedakan kedudukan dan peran-peran wanita pria yang menimbulkan ketimpangan dan ketidak adilan hak dan kewajiban wanita-pria. Timbulnya isu gugatan tersebut disebabkan oleh adanya kesadaran emansipasi wanita untuk memperoleh hak dan kewajiban yang sejajar dengan pria.

Gambaran-gambaran mengenai praktek subordinasi wanita dan adanya ideologi genderisme dalam masyarakat dapat kita lihat antara lain dalam kitab-kitab sastra Jawa kuno seperti kitab Centhini, Serat Wulang Putri, Serat Darmarini, dan sebagainya. Di dalam kitab Chentini yang ditulis lebih dari seabad yang lalu, dan pada msasanya menjadi semacam panutan kebanyakan orang Jawa, menuturkan kepada kita tempat wanita dalam masyarakat di masa lampau, yakni sebuah kedudukan dan peran yang sangat berbau ideologi genderisme. Sebuah gambaran tentang subordinasi wanita dalam masyarakat. Dikatakan dalam kitab Chentini itu bahwa seorang istri yang ideal diibaratkan lima jari tangan. Ibarat jempol (ibu jari), mereka harus pol, sepenuhnya mengabdi pada suami. Ibarat telunjuk, mereka harus patuh pada petunjuk dan perintah suami. Ibarat panunggul (jari tengah), mereka harus mengunggulkan suami, harus menghargai hasil kerjanya betapapun sedikit dan tak berarti. Ibarat jari manis, selalu bersikap manis pada suami apapun rasa dihati. Ibarat jhentik (jari kelingking), mereka harus selalu otak-atik, hati-hati dan teliti serta rajin dan terampil melayani maupun menjalankan tugas dari suami.

Kenyataan ini bukanlah sekedar kenyataan masa lampau belaka. Sampai hari ini, pembedaan peran serta kodrat wanita-pria masih terus hidup. Anggapan bahwa wanita lebih lemah dan lebih emosional dari lelaki, kodrat wanita sebagai sekedar pelengkap dan karena itu hanya mungkin mengembangkan diri secara penuh sebagai istri dan ibu, tugas wanita untuk mengabdi pada suami dan bertanggung jawab atas pertumbuhan anak-anak, wanita sebagai sekedar Kancawingking (teman di belakang) pria, dan bahkan wanita tidak pantas (saru) mengerjakan pekerjaan kasar, masih tetap merupakan pernyataan keseharian yang kita dengar di masyarakat. Kenyataan ini bukanlah sekedar anggapan kultural yang tersirat dalam hidup keseharian saja, tetapi juga terejawantahkan dalam berbagai aspek ebih formal kehidupan kita sebagai masyarakat (lihat kompas, 21 Maret 1989, hal.1).

Gambaran mengenai adanya kenyataan praktek subordinasi wanita sebagai gambaran mengenai istri ideal yang diibratkan dengan lima jari tangan seperti yang tertera dalam kitab Centhini tersebut di atas, ada di dalam roman Canting melalui tokoh Bu Bei (tuginem) dalam kapasitasnya sebagai istri Pak Be Sestrokusumo. Namun, Arswendo Atmowiloto di dalam roman Canting tidak hanya memberi gambaran yang buram atau negatif mengenai praktek subordinasi wanita itu, melainkan ia membukakan tabir peran ganda wanita yang cukup sukses dijalankan oleh wanita tradisional melaui tokoh Bu Bei. Dalam roman Canting, tokoh Bu Bei digambarkan menjalankan peran ganda, yakni sebagai istri dan wanita “karir”.

Dalam kapasitasnya sebagai istri Pak Bei Sestrokusuma (istri priyayi), Bu Bei yang semula berasal dari kalangan buruh batik, berpendidikan rendah, mampu menghayati perannnya sebagai istri ideal seperti yang digambarkan di dalam kitab Centhini. Bu Bei sepenuhnya mengabdi pada suami, ia sangat bhakti pada Pak Bei (Canting, 1986:6). Bu Bei sebagai istri sangai patuh dan tau hal-hal yang disukai dan hal-hal yang tidak disukai suami. Bu Bei tak pernah mendahului kehendak suaminya (Canting, 1986:33-35). Ada lebih 19 kali pernyataan dalam roman Canting yang menyatakan Bu Bei bersikap menunggu petunjuk dan perintah suaminya. Bu Bei menghargai hasil kerja suaminya betapa sedikit dan tak berarti. Dalam roman Canting sebenarnya yang memperlihatkan kerja keras adalah Bu Bei, tidak Pak Bei. Bu Bei senantiasa bersikap manis kepada suaminya, ia rela menyumbangkan apa saja asalkan suaminya bisa gembira (Canting, 1986:10). Bu Bei memiliki sikap hati-hati, teliti serta rajin dan terampil melayani maupun menjalankan tugas sebagai istri (Canting, 1986:16;33-37).

Dalam kapasitasnya sebagai wanita “karir” (istilahnya sekarang), Bu Bei mengurusi pabrik batik cap Canting dan berdagang batik pasar klewer Solo. Bu Bei dalam kapasitasnya sebagai wanita “karir” sangat enerjik, sigap, cerdas, menguasai pekerjaannya. Ia gesit dn terampil sebagai pedagang batik di pasar klewer. Jika di pasar Bu Bei laksana manager yang hebat, mengatur dan memutuskan segala transaksi, mencari dan memberhentikan para pegawainya. Namun di rumah Bu Bei sebagai istri Pak Bei yang patuh, yang bekti, yang melayani suaminya secara tulus dan ikhlas (Canting, 1986:40-42).

Dalam kapasitasnya sebagai wanita karir, sebagai pedagang batik, setiap hari Bu Bei ke pasar Klewer, Bu Bei “ngantor” di pasar Klewer. Di dalam melukiskan Bu Bei sebagai wantita karir cukup menarik untuk diikuti uraian Arswendo Atmowiloto berikut ini. Bagi kaum wanita pasar adalah karir, adalah karya, adalah kantor. Bu Bei akan berdandan sepantas mungkin seperti mereka yang biasa ke kantor perusahaan swasta (Canting, 1986:40). Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang demikian jauh berbeda dengan suasana rumah. Bu Bei berubah menjadi seorang direktur, seorang manager, seorang pelaksna yang sigap. Pasar adalah kantor bagi kaum wanita. Bu Bei akan dengan mudah mengetahui apa yang terjadi di dapur kios lain. Seolah bisa membaca secara rinci pembukuan yang ada. Berapa sesungguhnya yang dimiliki pemilik kios yang dagangannya menggunung. Apakah sekedar titipan atau bukan. Apakah di situ ada transaksi besar atau sekedar gurauan (Canting, 1986:41). Pasar adalah panggung di mana wanita-wanita, yang ada di rumah memegang peran pembantu, menjadi yang nomer satu. Di mana ibu-ibu sadar harga dirinya, daya tariknya, haknya untuk menentukan dan berbuat apa maunya. Di pasar inilah wanita menjadi lelaki. Bu Bei menjadi Pak Bei. Tatapan mata, sentuhan tangan, senyuman, bisa dipilih untuk diteruskan, ditunda, atau ditawarkan. Bu Bei masuk ke sudut kiosnya, terjepit di tengah, tapi serentak denga itu menemukan kebebasan yang luar biasa (Canting, 1986:42). Dari kios-kios sempit, yang bila panas seakan memuaikan penghuninya, segala apa dilebur. Tak ada beda atau Bu Bei, tumenggung, atau Bu Joko, atau Inggiok, dan Bu Joko bertahi lalat. Yang berbeda hanyalah penampilan Bu Bei di rumah dan di pasar Klewer. Dan itu hanya diketahui yang bersangkutan, dalam artian di sadari. Tapi peran yang disediakan pasar Klewer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang dan juga ketakutan adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa memaki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan keberanian memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan nafas (Canting, 1986:49).

Dari uraian-uraian mengenai peran ganda yang dijalani Bu Bei (sebagai istri dan wanita karir) seperti yang telah diungkapkan di atas, dapat dikatakan bahwa meskipun Bu Bei termasuk wanita tradisional, wanita dari bagian generasi masa lampau, dapat dengan sukses menjalankan peran ganda itu tanpa menggugat ideologi genderisme, tanpa menggugat subrdinasi dirinya sebagai wanita. Bu Bei memang tipe wanita yang hebat. Bu Bei berhasil menyatukan suara hatinya dengan tindakan suaminya. Bu Bei berhasil menyatukan suara hatinya sebagai wanita dengan suara hati seorang istri. Bu Bei adalah wanita luar biasa, istimewa dan luar biasa lahir maupun bathin. Bu Bei mencapai tingkat pasrah dalam artian sebenarnya. Bu Bei bisa menyatukan antara karir, kepentingan pribadi, kepentingan seorang istri, kepentingan seornag ibu, dlam satu tarikan nafas yang sama (Canting, 1986:269). Untuk mencapai hal ini tidak gampang. Meskipun wanita masa kini sudah memperoleh peluang yang lebh besar untuk mendapatkan kedudukan dan peran yang sejajar dengan pria, belum tentu mereka bisa sukses menjalankan pern ganda tersebut dalam sat utarikan nafas yang sama tanpa menimbulkan akses yang diperagakan oleh Bu Bei.

Dimensi Prospektor Perkembangan Industri Batik

Telah disebutkan di muka bahwa subtema roma Canting ialah mengenai prospek kerajinan batik tradisional yang keadaanya semakin merosot karena terdesak oleh batik printing yng diproduksi oleh perusahaan-perusahaan bersekala industri modern (lihat sub bab 3.1.4 hal.62-64). Dalam roman Canting gambaran mengenai merosotnya pengusaha batik tradisional yang rata-rata milik pribumi itu digambarkan melalui perjuangan tokoh Ni (Subandini Dewa Putri Sastrokusumo) yang berusaha mengatasi kebangkrutan pabrik batik cap Canting milik keluarganya.

Di dalam cerita Canting, disebutkan bahwa keluarga raden Ngabehi Sestrokusumo (Pak Bei) memiliki pabrik cap Canting yang dapat dikategorikan sebagai pabrik yang tradisioal, karena teknik produksinya masih menggunakan alat Canting, yaitu semacam alat tulis untuk membatik. Di samping itu ada alat lain yang sedikit lebih maju, yaitu dengan alat cap. Namun kedua alat tersebut masih sepenuhnya menggunakan tenaga tangna manusia, jadi belum termasuk alat produksi yang menggunakan mesin. Pada suatu kurun waktu tertentu, atau sebelum tahun 1970-an alat-alat semacam itu sudah cukup memadahi untuk memproduksi batik dan hasilnya sudah bagus. Bahkan sampai sekarang hasil batik tulis, batik cap masih tetap dibutuhka ndipasaran. Dari hasil sebagai pengusaha batik tradisional itu Pak Bei Sestrokusuma menjadi orang kaya pada zamannya. Pak Bei berhasil menyekolahkan anak-anaknya yang berjumlah 6 orang itu sampai jenjang pendidikan tinggi. Semua anak Pak Bei menjadi sarjana. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan zaman sekitar sesudah tahun 1970-an, teknik produksi batik mengalami inovasi tekhnologi, yatiu dengan musim printing. Sekalipun produksi batik secara tradisional tetap berjalan, mendapat saingan yang berat dari produksi batik dari pemilik pabrik batik dengan mesin printing, rata-rata pengusaha baru dari kalangan non pribumi. Para pengusaha besar kuat modal yang menggunakan mesih printing untuk memproduksi batik, memproduksi batik secara masal dan pemasarannyapun juga sudah dengan cata pemasaran modern. Batik printing kemudian membanjiri pasaran. Karena skala industri, harga batik printing jauh lebih murah dan kwalitasnyapun tak kalah dengan kwalitas hasil produksi alat Canting atau cap. Oleh karena itu, pabrik batik Pak Bei lama kelamaan merosot karena sangat bersaing dengan perusahaan batik printing dengan berskala industri semacam itu.

Tokoh Ni, yaitu anak Pak Bei yang paling bungsu berusaha mengatasi kebangkrutan pabrik batik cap Canting milik keluarganya. Namun tampaknya Ni tidak mempelajari kondisi yang sudah berubah Ni tidak memahami bahwa kebangkrutan pabrik batik keluarganya disebabkan oleh karena kalah bersaing dengan perusahaan besar yang memproduksi batik printing. Ternyata batik cap Canting sudah tidk dikenal lagi oleh masyarakat konsumen. Ni sekalipun berjuang mati-matian, akhirnya gagal untuk mengangkat kembali batik cap Canting itu yang populer di kalangan konsumen batik adalah batk hasil produksi dari perusahaan batik besar, yang modern, yakni perusahaa yang memproduksi batik printing.

Apabila pabrik batik tradisional masih menginginkan tetap berjalan, agar produknya tetap laku, tidak bisa lain kecuali mau mengubah pola prodksinya menjadi pabrik sanggan, yakni pabrik yang hanya memproduksi batik berdasarkan pesanan dari perusahaan yang lebih besar. Pabrik sanggan semacam itu tidak berhak memaasng label pada hasil produksinya. Dalam pemasaran, label yang digunakan, label milik perusahan besar yang menampung hasil produksi pabrik sanggan tersebut. Di dalam roman Canting, Ni mengikuti pola strategi pemasaran dan pabriknya malah bisa berjalan meskipun ia harus merelakan tidak lagi memakai label atau cap Canting.

Mengikuti lika-liku penggambaran perjuangan tokoh Ni yang berusaha mengatasi kebangkrutan pabrik batik milik keluarganya di dalam roman Canting, tampaknya Arswendo Atmowiloto sangat menguasai permasalahan industri batik. Apa yang digambarkan oleh Arswendo Atmowiloto mengenai persoalan prospek perkembangan industri batik, memang mencerminkan realitas sosial; memang demikianlah keadaannya secara emperis.

Sejak akhir 1970-an sampai kini pabrik-pabrik batik tradisional yang rata-rata dimiliki oleh pengusaha pribumi, satu demi satu gulung tikar, bangkrut, atau terpaksa hanya menjadi pabrik sanggan. Karena terdesak dan kalah besaing dan perusahaan-perusahaan batik berskala modern yang rata-rata dimiliki oleh pengusaha non pribumi. Perusahaan-perusahaan batik modern yang dimiliki oleh pengusaha non pribumi itu menyertakan investasi modal yang besar, didukung oleh managemen modern serta tenaga ahli yang berpendidikan tinggi (terutama pada tingkat manager exskutif perusahaan). Munculnya perusahaan-perusahaa batik yang besar seperti batik semar, batik keris, dan batik danarhadi merupakan saingan dan tantangan bagi pengusaha batik tradisional. Pabrik batik tradisional kalah bersaing dalam hal desain atau rancangan corak dan modelnya, alat-alat produksinya, strategipemasarannya dan di fersifikasikan hasil produknya. Perusahan-perusahaan batik besar itu menciptakan corak batik kontemporer, abstrak, yang oleh masayarakat disebut sebagai corak modern. Batik corak modern ini ternyata digemari para konsumen. Di samping itu, perusahaan-perusahaan batik modern itu menciptakan pula produk batik yang siap pakai, yaitu dalam betuk pakaian jadi (garmen batik). Perusahaan-perusahaan batik modern itu juga mengembangkan produk-produk batik di luar kebutuhan untuk sandang, misalnya memproduksi kain batik untuk kebutuhan gorden, bantalan kursi, tas batik, spray batik, taplak meja dan sebagainya. Mereka membua difessifikasi produk batik sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau permintaan pasar.

Dari uraian-uraian di atas, tampaklah bahwa kejayaan pengusaha batik tradisional seperti halnya Pak Bei Sestrokusuma atau Ni dalam roman Canting, mulai surut dan pada masa sekarang ini meskipun mereka tetap bertahan, sub perioritasnya digantikan oleh perusahaan-perusahaan batik modern sekaliber batik semar, batik keris, dan batik danarhadi, yang namanya populer ke seluruh Indonesia dan bahkan sampai ke luar negeri. Pengusaha batik sekaliber Pak Bei atau Ni terpaksa menerima kenyataan itu dan hanya sekedar menjadi pabrik sanggan. Roman Canting berhasil mengungkapkan dinamika perubahan dan perkembangan industri kerajinan batik tradisional ke arah industri batik modern.

Sikap Budaya Arswendo Atmowiloto dalam roman Canting

Sikap budaya seseorang akan muncul ketika ia harus merespon problem kehidupan. Sikap budaya yang ditampilkan seseorang itu di tentukan oleh wawasan hidupnya. Wawasan hidup seseornag itu dipengaruhi oleh ideologi, nilai-nilai moral dan etika nilai budaya, agama dan sumber-sumber pengetahuan yang lain yang sudah ia serap sepanjang hidupnya dan yang sudah di internalisasikan (melalui proses durasi) sehingga menjadi bagian bawah sadar dalam diri seseorang. Karena sudah menjadi bagian bawah sadar seseorang maka kerika seseorang harus merespon problem kehidupan wawasan hidup tersebut akan muncul ke permukaan mengisi ruang kesadaran seseorang dan menjadi referensi yang befungsi untuk menentukan sikap budaya seseorang.

Jika budaya Arswendo Atmowiloto yang akan diungkapkan di sini yaitu sikap budayanya dalam memandang proble sosial budaya yang ada dalam roman Canting seperti yang sudah dikemukakan dalam sub bab 3.2.2 hal.71-83, bahwa ada tiga dimensi problem atau persoalan sosial budaya yang terungkap dari roman Canting, yaitu 1). Dimensi perubahan sosial masyarakat Jawa, 2). Dimensi peranan wanita, dan 3). Dimnsi prospek perkembangan industri kerajinan batik. Oleh karena itu dalam pembicaraan mengenai sikap budaya Arswendo Atmowiloto itu, akan terbatas hanya meliputi tiga dimensi persoalan sosial budaya tersebut. Dalam hal ini segi yang menarik untuk diperhatikan ialah sikap budaya yang ditampilkan Arswendo Atmowiloto dalam menanggapi ketiga dimensi persoalan sosial budaya tersebut bersifat konsisten. Apabila ternyata sikap budya yang ditampilkan memiliki konsistensi, maka dapat dikatakan bahwa sikap budaya yang ditampilka itu sudah merupakan salah satu sisi dari jatidirinya.

Dalam sub bab 3.2.2.1. hal.72-75, telah dikemukakan bahwa Arswendo Atmowiloto dalam menggambarkan dimensi perubahan sosial masyarakat Jawa menggunakan figur suatu keluarga priyayi Jawa yakni keluarga raden Ngabehi Sestrikusumo. Dalam roman Canting diceritakan bahwa keluarga raden Ngabehi Sestrokusumo merupakan salah satu keluarga dari kalangan kaum priyayi yang sukses dalam menghadapi situasi perubahan sosial. Rahasia kesuksesan keluarga raden Ngabehi Sestrokusumo dalam menghadapi situasi perubahan sosial terletak pada sikap hidup keluarga ini dalam menghadapi perubahan sosial. Sikap hidup keluarga raden Ngabehi Sestrokusuma inilah yang diasumsikan, ditafsirkan sebagai mencerminkan sikap budaya pengarangnya, yaitu Arswendo Atmowiloto, sebab betapapun pengarang adalah “dalang” dari sekenario lakon kehidupan yang sedang diceritakan.

Berdasarkan hasil pengkajian terhadap perilaku, sikap dan pemikiran yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh utama dalam keluarga raden Ngabehi Sestrokusumo tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa sikap budaya Arswendo Atmowiloto dalam menanggapi persoalan perubahan sosial masyarakat Jawa adalah sebagai berikut : bahwa pada dasarnya perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tidak dapat ditolak, dihindari atau dihentikan. Perubahan sosial senantiasa akan terus berlangsung. Oleh karena itu, sikap budaya yang paling cocok untuk menjalani kehidupan yang senantiasa penuh dengna perubahan sosial itu ialah sikap pasrah. Kepasrahan yang diwujudkan dengan kerja keras (Canting, 1986:272). Sikap pasrah yang diwujudkan denga kerja keras tidak memandang kehidupan secara statik, tetapi dinamik. Tidak memperhitungkan klimak dan antiklimak, sebab hidup adalah mengalir, menggelinding (Canting, 1986:370). Demikianlah sikap budaya Arswendo Atmowiloto yang ditampilkan dalam menghadapi perubahan sosial masyarakat.

Sikap budaya Arswendo Atmowiloto dalam menghadapi persoalan peranan wanita akan diutarakan sebagai berikut. Dalam sub bab 3.2.2.2 hal.75-80, telah dikemukakan bahwa Bu Bei (tuginem) berhasil dalam mejalankan peran ganda, yaitu sebagai istri Pak Bei Sestrokusuma dan sebagai wanita karir. Dalam menjalankan peran ganda itu Bu Bei tak pernah protes atau menggugat sub ordinasi wanita atau menggugat adanya ideologi genderisme. Hal ini berbeda dengan wanita masa kini. Rahasia keberhasilan Bu Bei dalam menjalankan peran ganda dengan tanpa menimbulkan akses dan tanpa menggugat sub ordinasi wanita ataupun menggugat ideologi genderisme itu terletak pada sikap hidup Bu Bei itu sendiri.

Bu Bei berhasil menyatukan suara hatinya dengan tindakan suaminya. Bu Bei berhasil menyatukan suara hatinya sebagai seorang wanita dengan suara hati seorang istri. Bu Bei mencapai tingkat pasrah dalam arti yang sebenarnya. Bu Bei bisa menyatukan antaa karir, kepentinga pribadi, kepentinga seorang isti kepentingan seorang ibu, dalam satu tarikan nafas yang sama (Canting, 1986:269). Sikap hidup Bu Bei senantiasa dalam proses ke arah pasrah. Proses dalam rumah tangga kearah penyatuan gelombang rasa. Dalam pasrah tidak ada keerpaksaan. Dalam pasrah tidak ada penyalahan kepada lingkungan, pada orang lain, juga pada diri-sendiri (Canting, 1986:271).

Sikap hidup Bu Bei tersebut di atas, dapat ditafsirkan sebagai mencerminkan sikap budaya Arswendo Atmowiloto dalam menanggapi persoalan peranan wanita. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap budaya Arswendo Atmowiloto dalam menganggapi persoalan peranan wanita itu ialah sebagai berikut : bahwa peranan wanita akan dapat dijalani dengan berhasil apabila dalam diriwanita itu dapat menyatukan antara kepentingan karir, kepentingan pribadi, kepentingan seorang istri, kepentingan seorang ibu, dalam satu tarikan nafas yang sama. Adapun sayarat untuk menyatukan berbagai kepentingan itu ialah sikap pasrah dengan tanpa menyalahkan lingkungan, orang lain, atau pada diri-sendiri.

Kemudian mengenai sikap budaya Arswendo Atmowiloto dalam menghadapi persoalan prespektif erkembangan industri kerajinan batik tradisional dapat diutarakan sebagai berikut. Dalam sub bab 3.2.2.3 hal.80-83, telah dikemukakan, bahwa hasil kerajian batik tradisional semakin terdesak oleh batik printing. Dengan demikian banyak pabrik batik tradisional yang gulung tikar atau terpaksa berubah menjadi sekedar pabrik sanggan untuk tetap bisa berjalan karena kalah dalam bersaing dengan perusahaan-prusahaan batik modern dan dalam proses produksinya menggunakan mesin printing. Dala roman Canting, diceritakan bahwa tokoh Ni gagal dalam perjuangannta untuk mengangkat batik cap Canting hasil produksi pabriknya yang tergolong tradisional. Namun justru pada saat Ni menyerah, tidak lagi berusaha mengangkat tinggi-tinggi bendera pabriknya, tidak lagi memasang cap Canting pada hasil produksi batiknya ketika itulah usaha batiknya bisa berjalan. Pabrik batik milik Ni berubah hanya hanya sekedar menjadi pabrik sanggan yang memproduksi batik berdasarkan pesanan perusahaan-perusahaan besar. Ni menyerahkan hasil priduksi batiknya kepada perusahan-perusahaan besar. Perusahan-perusahaan besar itulah yang membeli dan menjual kembali dengan cap atau label perusahaan mereka. Canting tak dikenal lagi.

Tampaknya Ni menyadari bahwa kepeloporan zaman silam telah diganti dengan produksi lain. Ni menyadari bahwa pada dasarnya Canting Sestrokusuman adalah berada pada posisi yang kalah, posisi sedang sakit. Budaya yang kalah tak lebar langkahnya. Budaya yang kalah tak banyak berubah dengan menjerit atau memuji keagungannya. Malah akan lemah pada saat membanggakan. Ni sadar bahwa cara bertahan dan bisa melejit, bukan dengan cara menjerit. Bukan dengan cara memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Akan tetapi dengan jalan melebur diri (Canting, 1986:385). Oleh karena itulah ketika ni melepaskan cap Canting, ketika itulah usaha batiknya bisa jalan. Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman ketika itulah ia melihat harapan (Canting, 1986:386).

Dari liku-liku perjuangan Ni untuk mengangkat kembali usaha batiknya sampai pada tumbuhnya kesadaran pada diri Ni atas kenyataan yang ada, dapat ditafsirkan sebagai mengandung sikap budaya Arswendo Atmowiloto dalam menanggapi persoalan prospek perkembangan industri kerajinan batik atau prospek kelestarian salah satu hasil budaya Jawa. Jika budaya Arswendo Atmowiloto dalam hal ini yaitu sikap pasrah secara ikhlas dalam menerima kenyataan yakni dengan jalan menebus diri pada kondisi atau kenyataan yang sedang berjalan itu. Sikap demikian it bersikap konformistis.

Memperhatikan sikap-sikap budaya yang ditampilkan oleh Arswendo Atmowiloto dalam menanggapi ke tiga dimensi persoalan suatu budaya yang ada di dalam roman Canting itu, dapatlah ditarik suatu benang merah yang sama, yaiu pada esensinya sikap budaya Arswendo Atmowiloto menekankan sikap pasrah. Kepasrahan yang diwujudkan dengan kerja keras, melebur diri atau konform, menerima kenyataan yang sedang berjalan secara ikhlas dan memangang hidup sebagai suatu proses yang mengalir. Dengan demikian, sikap budaya yang ditampilkan Arswendo Atmowiloto dalam menanggapi ketiga dimensi persoalan sosial budaya itu bersifat konsisten.

Sikap budaya Arswendo Atmowiloto tersebut di atas, masih berakar pada nilai budaya Jawa. Sikap budaya Arswendo Atmowiloto yang masih berakar pada nilai budaya Jawa tersebut tampaknya dipengaruhi oleh pandangan hidup yang kosmosentris, yakni pandangan yang mengembalikan proses sejarah sebagai proses alam yang siklis dan berulang meliputi waktu abadi, jadi tak ada akhir dan tujuannya. Kejadian dunia dikembalikan menjadi proses alamiah sebagai natur geschehen. Awal dan akhir bertemu dan selalu ada Ewige Wiederkehr, sejarah tidak mempunyai makna. Manusia tidak berpengharapan dan menyerah kepada fatum atau nasip (takdir) (sartono kartodirdja, 1986:100;107-108). Dengan demikian, meskipun Arswendo Atmowiloto sudah hidup dikota metropolitan Jakarta cukup lama, ternyata jati dirinya sebagai orang Jawa, orang Solo, sebagaimana bercermin dari sikap budayanya belum berubah. Sikap budayanya bersumber dari dunia arktip.

1 Response to "Dimensi Perubahan Sosial"

  1. ijin sedot bos

Posting Komentar

Free Website Hosting